Sabtu, 01 Desember 2012

Cerpen Manusia dan Kegelisahan


(AKU ANAK)


Satu malam dengan Long Allen memaksaku berteriak pada pasir, “Hentikan semua kenangan! Aku membencinya, seperti halnya kemarahan yang mengingkariku!”. Waktu ini kembali lagi, tanpa bisik dan tanpa wangi tanah basah sehabis hujan. Setenggak Stout, setenggak Cassberg ditambah sebotol Martil mungkin akan benar-benar membantuku membuang nyawa.

Batu apung putih tiba-tiba berserak dalam kepala, pening.
“Lakukan sesuatu, Rikar! Nyawamu harus diselamatkan. Anakmu, Yayang menunggu di rumah. Dia sakit, dia sedang sakit....”. Dengan penatku yang sekarang, aku akan bersedia hidup di Najaf, sebuah kota suci bagi kelompok syiah –yang paling merasakan kerasnya tekanan rezim Saddam–, setiap hari tanpa ragu bersedia menunggu mati. Ternyata benar, menjadi manusia itu lelah.

Padi-padi di taman belakang yang tambah hari tambah merunduk saling menudingkan jari dan aku menciumnya, mencium kerinduan itu. Tubuhku ringan bagai lajeungan. Pasir putih ini seperti uap air yang tinggal setitik-setitik di bulir-bulir padi. “Hei, kereta api tua yang lelah. Kau kah yang membuat padi-padi berpesta di pantai?”. Kenapa malam tidak membuat logikaku lebih otoriter, jawaban bintang untukku hanya sebuah senyuman zonder kata.
 “Apa maunya langit, musik yang merubung kafe-kafe itu kenapa bisa sampai kemari?. Lelap, lelaplah buih. Tak perlu air laut memaksamu berjaga, membasahi pantai. Hari ini aku mabuk. Mari, angin! Ayo, nyiur! Mati bersamaku!!!”.
Lelah, kosong.
**

“Rikar, pulanglah, anakmu sakit. Dia kurus, pucat dan sedih. Fotomu selalu dilihatnya setiap hari. Yayang kangen kamu, pulanglah dulu!”
“Tak bisa, Ma. Rikar banyak pekerjaan di sini. Kalau tidak kerja sehari, tak akan aku dapat uang. Lagipula akek-akek dari Singapura banyak yang datang minggu-minggu ini. Kesempatan untuk menambah uang dengan menemani mereka. Ma, tolong jaga saja Yayang, bawa dia ke dokter! Nanti, aku kirimi uang lagi. Sudah ya, Ma. Peluk dan ciumkan Yayang buatku.”

Kumatikan N6110-ku. Hhhh, lagi-lagi kabar buruk dari rumah. Entah, kapan kelana-kelana nyata yang kelam ini selesai. Rasanya, aku butuh segelas Strobe.
“Rikar! Apa yang kau perbuat?! Hentikan! Jangan minum lagi, kau ingin mati?!”
“Ha...ya, aku ingin mati. Andai mati itu bukan sebuah tanggung jawab, aku ingin mati sekarang juga!”
“Rikar, kalau Om A Hong sampai tahu kau mabuk, bisa dipecat kau! Kemarin mabuk, sekarang mabuk lagi. Hentikan, Rikar!”
“Hei....Hei....., kembalikan gelas itu, isinya terlalu mahal untuk dibuang ke lantai!”
“Lalu, mengapa duitmu kau habiskan bersama alkohol busuk ini? Seharusnya uangmu kau berikan keluargamu!”
“Keluarga? Keluarga yang mana? Anakku, Yayang yang sakit-sakitan itu, atau mamaku yang punya hutang ratusan juta dan dicari-cari orang itu, atau papaku yang sudah jadi pengangguran karena malas dan menelantarkan empat orang anaknya begitu saja. Atau maksudmu, keluarga besar dari mama-papaku yang merasa sebagai priyayi-priyayi suci itu. Ha...ha....ha...., bisa saja kau, Mona.”
“Sudah, ayo kembali ke mess, kau terlalu banyak bicara!”
“Aaaah, tidak! Tidaaak, Mona. Biarkan aku sendiri, ini hidupku bukan hidupmu!”
“Rikar, aku tahu ini hidupmu tapi di hidupmu pun ada hidup orang lain. Anakmu Rikar, anakmu!”
“Anak, anaaakk! Kalian semua ribut tentang anak. Aku pun seorang anak, lalu perduli apa papa-mamaku pada anaknya ini? Dimana keperdulian mereka sekarang? Dimana?”
“Memang kau ini aneh, Rikar. Kau baby besar tapi punya baby kecil. Harusnya kau masih bersekolah dan tidak bekerja di sini melayani akek-akek!”
“Tak usah banyak kata! Heiii, kembalikan gelas itu! Heeii....!”
**

Meja dengan meja memang tidak pernah saling bercakap, kehendak remang yang menjadi cenayang mereka tersipu. Dan, kemudian seolah menit tak bergegas. Kaki-kaki meja yang coklat kehitaman itu menjelma semut-semut yang berusaha melepaskan diri dengan berlompatan satu persatu, merobohkan  ulir-ulir urat kayu yang terdiri dari ribuan semut-semut hitam yang terus menggemakan diri untuk berkata: “Lepaskan aku ! Bebaskan aku !”.
Kini meja itu tak bisa lagi berdiri karena keempat kakinya telah habis. Keempat kaki meja yang bernyawa itu sekarang telah menuju kebebasannya, kebebasan yang tidak henti pula memukul-mukul gendang nuraniku dan  semakin mengiang di labirin telinga terus berpusar menyakiti otak tanpa belas kasihan. Bayang-bayang hitam tercipta kemudian  membunuh seekor kunang-kunang dengan bengis, kunang-kunang itu terkubur hidup-hidup, mati di hadapan otakku sendiri.

Lagi, lelah.
“Kak....., Kakak. Kakak melamun? Tolong beri saya sedikit uang, Kak! Saya belum makan dua hari.”

Asing, kosong, enggan namun kutoleh juga suara itu.”Taher...?”. Ya, anak ini mirip Taher, adikku yang masih SMP. Sesenyap aroma kota kelahiranku  melintas cepat, berikutnya hilang.
“Apa? Apa, dik? Kau minta apa?”
“Uang, Kak. Beri aku sedikit uang untuk makan.”
“Kau belum makan?”!
“Belum, Kak.”
“Tunggulah, sebentar. Pak Wi, mi rebus dengan telor satu ya ?”

Terdengar sahutan mengiyakan dari jauh.
“Duduklah sini dulu, dik!”
“Ya, Kak.”
“Kau tidak sekolah? Dimana bapak-ibumu? Kau punya rumah?”
“Saya memang tidak sekolah, Kak. Tak ada biaya, buat makan saja carinya susah apalagi untuk sekolah! Saya tak pernah punya bapak. Ibu tidur, istirahat untuk kerja nanti malam. Kami biasa tidur di bawah jembatan pertigaan sana itu, Kak.”

Penatku suram. “Aku merasa, akulah yang paling menderita tapi ternyata......, Hhhhh!.”
“Kak, Kak mi rebusnya kumakan ya?”
“Oh, iya, ya. Makanlah, kenyangkan perutmu!”

Mengapa hidup tidak juga meng-iya-kan kami, “Aku anak, dia anak, mereka yang itu juga anak...”. Lusa kemarin, daun ialah daun. Sejam yang lalu, daun itu mengalir menyapa setiap batu dengan sunyi. Saat ini, daun yang sama masih juga dengan sunyi, menguap larut dipeluk udara. Adalah daun itu kami....
“Kakak, aku sudah selesai makan. Terima kasih, Kak. Aku pergi dulu!”
“Hei, hei, nanti dulu! Bawa mi rebus mentah ini, masaklah di rumahmu bila kau lapar lagi dan uang ini, jangan berikan pada preman, simpanlah sendiri! Hati-hati!”
“Waaaah, terima kasih, Kak. Terima kasih...”

Sekecup hangat tertinggal di punggung tanganku. “Dia benar-benar persis Taher, yang selalu mencium tanganku tiap berpamitan pergi sekolah”.  “Taher, Shala, Odi–adik-adikku. Apakah kalian juga sudah makan?”.
Capekku mengancam mata, memintanya untuk tidur. Siang tenggelam dalam masing-masing selimut penghuni mess ini sampai nanti, saat malam berbisik membangunkan kami, para pramuria.
* *** *

Dari atas timbunan pasir ini, kembaraku......
Suara-suara bising pilar gedung yang berdentingan dengan deru asap kendaraan, tetap. Memuakkan. Lagi, ini amarahku, aku harus bermain-main dengan kubangan lumpur di bekas galian bangunan yang tak kunjung selesai. Dengan pasir-batu yang tak lagi ramah, yang tiga hari kemarin membuat mata temanku luka. Kadang bosan itu tak berguna, karena hanya berisi keluhan-keluhan yang membesarkan anak parasit bernama pasrah. Harapan pun menjadi seperti mata kanan dan kiri bunglon yang dapat bergerak-gerak sendiri. Resah.

Aku bukan kecewa dengan bertambahnya gedung-gedung tinggi yang bagus-bagus itu, yang mengusir rumah-rumah dan sawah-ladang kami, yang membuang tanah lapang tempat kami bermain bola, petak umpet, gobak sodor, patil lele, engkle dan loncat tali. Dimana purnama yang bulat penuh itu pun tersenyum sesekali, ketika kami– anak-anak tanah lapang memergoki pasangan-pasangan mesra di bawah pohon cemara yang banyak mengelilingi tanah lapang kami. Ahhh, lelah aku dengan mainan kubangan lumpur ini. Tapi selain kubangan lumpur ini aku tidak punya lagi mainan lainnya. Tidak juga mainan-mainan mahal di layar-layar tv atau komputer itu, entah apa namanya.

Kalau, aku tidak berteriak pada gedung-gedung tinggi itu, pada kubangan ini, pada kumpulan kumuh rumah kami yang semakin terpinggir dan sering banjir itu, pada suara sumbang kami yang lelah tertawa di antara asap-asap pabrik dan kendara. Lalu pada siapa aku harus berteriaaaak..........
“Kak Watu, Kak Watu dipanggil emak, disuruh  beli air bersih ke rumah  Pak Zulfi buat masak!”
“Kamu ini kalo nggak teriak-teriak, nggak enak ya? Dasar cucakrawa bayi, ribut banget!”
“Kak Watu! Cepat nanti emak marah!”
“Ya, ya, ribut!”
 **

b a t u  II
bayiku manis
yang berjenis-jenis
tunggu waktu teriris
tanpa meringis
di sana
bocah cowokku
memegang batu
pandangnya menuju
ke hutan milik sang waktu
bocah cewekku
bercita-cita lugu
untuk jadi ibu
sedang belajar memasak batu.

Lusa kemarin, kutemukan puisi itu di secarik kertas di timbunan sampah dekat gudang percetakan buku yang dijaga oleh bapakku. Tak jarang juga, bapak memberi aku buku-buku yang tidak utuh, yang cetakannya terbalik atau yang lusuh dan bau kutu. Meski begitu, tetap saja buku-buku itu kubaca daripada aku bermain dengan kubangan lumpur yang semakin keruh. Sampai-sampai oleh beberapa temanku, aku dibilang sok pintar, sok gaya. Anak tukang jual gorengan dan satpam saja kok sukanya baca buku. Setiap selesai membaca satu buku, biasanya aku langsung berlari ke jembatan pertigaan di ujung Jalan Soekarno-Hatta itu. Dan yang selalu terlihat di bawahnya, barigade petak-petak kardus kuyu tanpa sungging. Lantas, penatku menggemuruh. Luka.
* *** *

“Siang ini, giliran Partai Kelinci yang berkampanye dengan melakukan pawai di kawasan Panjaitan sampai Soekarno-Hatta. Menurut rencananya pawai akan  diakhiri dengan hiburan panggung musik dangdut koplo di bekas Lapangan Cemara, yang sekarang telah menjadi GOR. Cemarandana. Sekian, kilasan kawat kampanye. Disiarkan langsung oleh Radio Republik-republikan dari lokasi pawai.”

Ada gerah yang lewat mengilhami beku. Mess ini terasa begitu pekat dan membuatku ingin menjerit. Lariku hendak bersuara, “Kami –anak– ingin mendongengimu tentang cerita malaikat suci yang tidak berwarna-warni. Tolonglah dengar kami?!!”. Kemasi nyawamu dengan hendak ini, kemudian bergegaslah!.
“Rikar....., Rikar! Tunggu! Kau hendak pergi kemana? Siang hari tak boleh keluar dari mess, kau benar-benar bisa dipecat Om A Hong nanti! Tunggu, Rikar!”
“Biar Mona, aku harus lari, lari, berlariii...! Aku ingin Bapak-Ibu  Partai itu tahu, bahwa aku-kami– para anak adalah rakyat, R-A-K-Y-A-T!!!!!”
“Rikaaaaaarrr.....!!!”
* *** *

Satu buku lagi selesai kubaca hari ini, jembatan pertigaan Soekarno-Hatta menungguku. Memang, aku tak akan dapat memetaki langit apalagi menyembunyikannya untuk diriku sendiri. Tapi, tetap aku harus lari, lari, berlariii...! Untuk meneriaki kekuasaan-kekuasaan yang makin pandai berdongeng itu,  bahwa aku-kami– para anak adalah rakyat,  R-A-K-Y-A-T!!!!!”.
Gempita suara kosong lambang-lambang Partai Kelinci menguapkan sementara barigade petak-petak kardus kuyu di bawah pertigaan jembatan. Dan penat yang luka tetap berteriak, meminta. “Tolong, dengarkan kami!!!”.

Aku yang datang tergesa, seolah telah bersiap mereinkarnasi leksikal-leksikal menjadi batu. Tidak dengan seru, tidak, tidak! Belum sempat dengan seru, luka...ku sudah, re....sah!
* *** *

“Selamat sore, kilasan kawat kampanye sore ini memberitakan bahwa dalam kampanye Partai Kelinci tadi siang telah jatuh dua orang korban. Korban pertama adalah seorang perempuan, 17 tahun, dengan Kartu Identitas Penduduk bernama Rikar Wanimardika yang dalam kampanye di GOR Cemarandana berusaha untuk menaiki panggung secara paksa, yang langsung diamankan Satgas Partai Kelinci. Malangnya, perempuan ini tergelincir ketika dipaksa turun oleh Satgas, kepalanya terantuk besi pengaman panggung dan langsung meninggal dunia. Sedangkan korban kedua adalah anak laki-laki diperkirakan berumur 15 tahun, yang sedang melepas bendera-bendera dan poster-poster Partai Kelinci  di pertigaan jembatan Soekarno-Hatta yang ternyata telah menutupi pemandangan kumuh petak-petak rumah kardus di bawah jembatan. Dan kemudian memicu amarah salah seorang aktivis Partai Kelinci yang sedang berpawai, yang lalu memukuli si anak laki-laki dengan tonggak bambu bendera sampai babak belur. Anak itu sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi setelah tiba di rumah sakit, korban meninggal dunia. Satu-satunya identitas si anak adalah secarik kertas berisi puisi yang terselip di saku celana pendeknya dengan judul ‘batu II’. Sekian, berita akhir kilasan kawat kampanye. Disiarkan langsung oleh radio Republik-republikan dari lokasi kejadian. Selamat petang.”
Surabaya, 28 Maret 2004

Keterangan:
Akek-akek = orang tua-orang tua yang kaya tapi kesepian
Zonder = tanpa
Lajeungan = layangan (bahasa Madura)
Long Allen, Stout, Cassberg, Martil, Strobe = semuanya adalah nama-nama atau jenis-jenis minuman keras yang mengandung alkohol
Gobak Sodor = permainan anak-anak di Jawa, yang dimainkan di tanah lapang dengan cara berusaha menerobos masuk kotak-kotak yang digambar di atas tanah, yang masing-masing kotak dijaga oleh satu orang
Patil Lele = permainan anak-anak di Jawa, biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, permainannya menggunakan tongkat kayu sepanjang lengan tangan dan sepotong kayu pendek sebagai sasaran untuk dilempar dari lubang yang dibuat di atas tanah
Engkle = permainan anak-anak di Jawa yang biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan dengan cara melompati bidang-bidang garis yang dibuat di atas tanah lapang, sembari menggeser sebuah kereweng (pecahan batu/genting rumah)


sumber : http://www.lokerseni.web.id/2012/03/cerpen-sosial-aku-anak.html#ixzz2Ds7Psfqt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar